Selasa, 02 September 2008

Di Klandestin: Mereka yang Dilumpuhkan

“Mas Andreas inget saya cuman penguji dua,” ujarnya menirukan kalimat salah satu dosen. Statement awal pada pertemuan di sebuah kantin itu menjadi menarik buat saya. Tak menyangka pernyataan pembuka tersebut justru menggiring saya ke dalam teka-teki besar ala roman detektif: kasus kelas percepatan/remidial merugikan beberapa mahasiswa angkatan 1991-2002 FISIP UAJY.

Oleh Hendy Adhitya

Mulanya saya tak berminat. Karena hari itu saya harus ke perpustakaan untuk suatu urusan. Tapi begitu Motorola C117 dalam saku jins bergetar, ternyata ada pesan masuk.

“Waduh, gak jadi ke perpus nih,” kata saya dalam hati. Sejurus kemudian saya sudah berada di tempat yang dimaksud oleh si pengirim SMS.

“Ada apa bos?” Sapaku sembari menepuk bahunya. Kami memang sudah kenal lama.

Kutarik bangku putih di seberang meja tempat dia duduk. Lalu ku duduk.

Sudah lama tidak mendatangi tempat ini, kataku dalam batin sambil melihat sekeliling. Setahuku dahulu di sini begitu ramai didatangi mahasiswa-mahasiswa FISIP yang perut kosongnya minta diisi si Cici’(Anak-anak FISIP biasa memanggilnya dengan sebutan itu). Namun semenjak proyek pembangunan di sebelah tempat ini berlangsung (katanya sich gedung perpustakaan pusat UAJY) kantin ini jadi tak seramai biasanya.

Akses yang ditutup itulah penyebabnya. Dahulu sebelum proyek dimulai, aksesnya adalah Kampus FISIP – Parkiran – Kantin. Tapi sekarang menjadi Kampus FISIP – Proyek – Kantin. Artinya, tempat parkir “dikorbankan” untuk dijadikan proyek pembangunan perpus. Dan itu juga artinya, proyek itu menutup akses mahasiswa ke kantin. Kalaupun ada, kami harus memutar melalui jalan luar. “Dasar, mematikan rejeki orang lain,” pikirku. Hei, kok jadi ngomongin yang lain?

Sebatang rokok Gudang Garam ia hisap dalam-dalam. Menggodaku untuk ikut merokok. Kepulan asap yang dihembuskan hidungnya membentuk jalinan gas putih semrawut di depan mukaku. Seolah ingin memberitahu dirinya tengah dilanda suatu problem yang sangat.

*************************

Belum jam 10. Setengah mengantuk. Pagi itu saya sudah berada di depan meja fotokopian Caritas. Lokasinya tepat di depan proyek.

Ada perlu apa saya di sini?

Ngapain Hen loe di sini?

Ini kasus yang menarik.

Lho tapi khan kamu tidak berkaitan langsung.

Diam! Bagaimanapun ini adalah masalah dan ini harus mendapatkan semacam kejelasan!

“Tolong saya minta difotokopikan lembar yang...,” kemudian saya melihat tempelan tulisan tangan di sebelah kiri. Itu yang saya cari.

“Berapa kali?” Kata petugas berseragam kuning itu.

“Satu kali aja, pak”

Dengan sigap petugas itu langsung menggarap permintaanku. Sinar X warna kuning mesin fotokopi memancar keluar melalui sisi-sisi kertas “bermasalah” pesananku itu.

Saya jadi ingat sesuatu soal tempat fotokopian ini. Caritas, koperasi milik pegawai UAJY itu (juga di fakultas lain) dengar-dengar dianggap mendiskreditkan Koperasi Mahasiswa (KopMa). Karena peluang usaha untuk mahasiswa sengaja dipersulit, terutama masalah perijinan pembangunan unit (Saat ini Kopma cuma ada di Kampus Tiga, sementara Caritas? Wow, di tiap fakultas ada). Buset! Katanya di sini kami bisa mengembangkan potensi diri. Tapi, kok malah bersaing dengan pegawai UAJY sendiri? Hahaha, kalau ini tanya saja kebenarannya di teman-teman KopMa di Pusgiwa.

“Lima ratus rupiah, mas”

Saya terbangun dari lamunan.

Dokumen empat lembar itu kudapat sudah. “Mereka yang dilumpuhkan” –begitu aku menyebutnya- menamainya draft. Betapa kertas empat lembar beserta tulisan-tulisan yang tersurat di dalamnya itu mampu membuat geger beberapa teman-teman angkatan 1991-2002. Ya, saya bertemu mereka di ruang klandestin tempo hari. Tiga hari silam.

************************

Saya tunggu mereka di ruangan itu. Well, beberapa bulan lalu ruangan ini ada karena hasil perjuangan kami terhadap fakultas dan universitas. Kami “digusur” sebagai konsekuensi tempat terdahulu berada di lokasi perencanaan pembangunan perpus.

Entah mengapa saya lebih suka menyebut (diam-diam) ruangan ini sebagai klandestin. Seakan kembali ke zaman pra-kemerdekaan dahulu. Soul-nya mungkin ya? Hahaha.

Seperempat jam kemudian, satu, dua, tiga... ada delapan orang terlihat memasuki ruangan ini. Saya menyapanya. Salah satu di antaranya adalah lelaki yang pernah saya temui di kantin beberapa hari lalu. Dan seorang lainnya adalah “orang itu”.

Setelah bersalaman dan memperkenalkan diri, semua duduk. Termasuk saya. Di sana saya sama sekali blank. Kosong pikiran. Mau apa orang-orang ini? Di sini mungkin saya bisa mendengarkan sebuah persoalan, mungkin juga tidak. Di sini mungkin saya bisa mendapatkan sebuah kasus, mungkin juga tidak. Saya cuma notulis di sini.

Tanpa membuang waktu lagi Bang Be membuka pertemuan itu.

Tape recorder itu disetel ke posisi on dan rec.

**************************

Nama aslinya, Andreas. Teman-temannya biasa memanggil Andre Batok. Atau Bang Be. Dia angkatan 1996. Sebetulnya dia sudah lulus beberapa hari lalu. Bang Be ikut program percepatan alias remidial.

“Saya kembalikan tape recordermu,” katanya memulai percakapan sambil terus merokok.

“Sudah selesai to?” Kataku menanggapi.

Dalam hati aku ingin sekali meminta rokoknya. Bungkus rokoknya masih penuh.

Ga’, gagal kok

“Hah?Apanya yang gagal?”

“Yang bersangkutan tidak mau diwawancarai dan dimintai keterangannya”

“Siapa?”

“Dosen”

Lebih jauh ia bercerita bahwa dirinya merasa “dirugikan”. Karena selain nilai ujian skripsinya C, ia tidak mendapat alasan yang memuaskan di balik nilai itu dari dua dosen pengujinya.

Kedua alis lebatnya hampir menyatu. Garis-garis di antara dua alisnya makin banyak. Wajahnya serius. Di kantin itu meski banyak orang, hanya dia yang ada seorang menurutku. Fokus saya terpusat pada Bang Be.

Statement awal si dosen jadi penarik minatku. Ini yang kemudian membuatku tertarik mengutak-atik teka-teki ini.

“Ini teorimu tidak kompehensif,” ucapnya menirukan si dosen.

“Padahal di kelas percepatan tidak ada itu namanya kerangka teori!”

Saya tidak mengerti saat itu. Apa yang coba ia katakan. Tetapi sepertinya memang sesuatu yang gawat.

Pertemuan awal di kantin itu adalah usaha pertama saya untuk menjadi tahu bahwa program kelas percepatan ini memang bermasalah.

“Hen, saya bisa minta tempat untuk pertemuan teman-teman 1991-2002 ?”

Tiba-tiba ia bertanya begitu. Dan tak ada alasan bagiku untuk menggeleng.

******************************

Tape Recorder. Side A. On

Tempat: Klandestin

Tanggal: 29 Agustus 2008

Jam: 15.30 wib

Bang Be: (start) ...ketika itu merupakan kelas percepatan ada yang namanya...juklak atau petunjuk pelaksanaan seperti yang saya baca di rujukan yang tertulis baik di empat lembar halaman yang itu diedarkan oleh pihak kampus terutama FISIP Atma Jaya Jogja.

Saya baca di situ bahwa yang namanya skripsi dengan kelas percepatan adalah menghilangkan esensial kerangka teori dan deskripsi. Atau bab dua di aturan skripsi reguler. Setelah saya tanya kanan-kiri, apakah menjadi sangat lazim ketika pembahasan karya tulis ilmiah sekelas skripsi harus menanggalkan yang namanya konsep teori atau kerangka teori berikut dengan deskripsi lapangan? Saya sempat mencoba minta tolong teman di Jakarta cuma belum bisa optimal ketemunya.

Saya lulus dengan nilai C. Pertanyaannya bukan saya mendapat nilai C. Tetapi bagaimana saya bisa dapat C? Itu saya pikir hak prerogatif saya sebagai mahasiswa untuk punya hak tanya. Ketika tanya pasti punya basic. Basic argumentatif secara akademis. Kenapa ini yang dipersoalkan, dan banyak hal yang dipertanyakan dalam sebuah konsep reguler. Ketika saya tanya dengan dosen penguji saya, dibilang bahwa banyak item-item penting yang sifatnya mengarah ke postulat teori. Padahal kita mengerti bahwa di kelas percepatan, kita tidak menyertakan kerangka teori. Berikut dengan deskripsi lapangan.

Kebetulan saya ngomong semiotik, aku ngomong budaya Jogja. Ketika aku ikut struktural (peraturan kelas percepatan –pen) itu bab dua yang esensialnya dihilangkan, deskripsi tentang Jogja dari A sampai Z. Dari sejarah sampai perkembangan terbaru waktu saya bikin itu. Tidak bisa saya masukkan karena tidak bisa terdeskripsi. Meskipun di situ di aturan main juga disebutkan ada deskripsi sederhana. Cuma sederhana yang seperti apa? Tidak dijelaskna lebih lanjut. Tapi esensialnya apakah sesederhana itu? Juga termasuk ketika memaparkan atau menguraikan tentang budaya Jogja atau apapun tentang kejadian Jogja. Dari lahirnya, berdirinya atau hingga kini. Saya pikir ketika menguraikan itu bukan lagi menjadi deskripsi sederhana. Tapi detil, deskripsinya.

Kebetulan komparasinya adalah dari sebuah nilai tayangnya. Ketika tayangan ini dipertanyakan (oleh dosen penguji –pen), “mana identitasnya?” Saya bilang tidak mampu, bukan saya tidak mampu secara pribadi. Tapi karena saya tidak mampu menghadirkan itu. Karena deskripsinya tidak ada. Nah, intinya apakah teman-teman yang melakukan percepatan mampu menjadi seperti yang diharapkan? Bahwa memang seperti inikah yang seharusnya?

Ketika saya pertanyakan dengan dosen, dan akhirnya ada yang bilang bahwa,”Mas Andreas saya cuman dosen penguji dua lho,” saya kira itu tidak relevan. Ketika seorang bergelar S2 atau lebih, jawabannya cuma, “mas Andreas inget saya cuman penguji dua.” Apakah menurut teman-teman itu tidak menjadi sesuatu yang “elegan”? Ketika kita ngomong bahwa ini permasalahannya akademis. Dengan dosen penguji satunya lagi, dia bilang bahwa, “ini teorimu tidak komprehensif atau terlalu parsial.” Nah, saya sempat menyanggah bahwa di percepatan tidak termasuk pencantuman kerangka teori. Ketika yang disanggah hal itu, kemudian teori mana yang dimaksud? Dan jawabannya (dosen penguji –pen) hanya bilang bahwa, “ya apa pun lah yang bisa disebut teori, kerangka konsep atau apa pun, punyamu ini tidak komprehensif.”

Apakah itu masih cukup logis, ketika saya mendengar reasoning able dari seorang dosen penguji yang notabene rata-rata S2? Selain ini juga mempertanyakan ulang, apakah format ini ditujukan kepada teman-teman agar punya kesempatan dipermudah dalam penyelesaian skripsi atau “dibuang”?...(end)

Tape Recorder. Side A. Off

******************************

Yang lain kemudian angkat bicara juga. Umumnya mereka merasa dirugikan oleh kebijakan ini. Seperti keluhan yang disampaikan oleh seorang kawan angkatan 1998, yang sempat berganti (baca: ditolak) judul skripsi hingga empat kali oleh dosen. “Sampai saya malas sendiri,” ujarnya.

Atau pengaduan seorang kawan angkatan 2001, yang terpaksa berlama-lama skripsi karena dua dosen pembimbingnya meninggal.

Ada lagi yang aneh bin ajaib. Ada dosen yang tidak setuju dengan konsep percepatan ini (yah, saya tidak perlu sebut nama di sini). Dan ini menyebabkan si mahasiswa yang semestinya dibimbingnya justru jadi korban. Nasibnya malah tidak jelas.

Ada pula kasus dosen pembimbing beda paradigma. Yang satu ke “kiri” yang satu lagi ke “kanan”. Wah kasihan amat yang jadi mahasiswanya tuh!

Yang terakhir ada kasus mahasiswa mengerjakan skripsi dengan metode kuantitatif namun pada akhirnya ia disuruh mengganti metode lain yaitu kualitatif. Hasilnya? Mahasiswa ini cuma mendapat nilai C.

Wow, betapa mahasiswa telah menjadi sapi perah!

“Orang itu” kemudian yang memimpin rapat. Badannya yang tirus tidak seperti semangatnya yang besar membakar kami. Di klandestin ini, ia berkali-kali meninju tanah, seraya menyumpah dan menggertak-mengingatkan kami yang belum sadar ini.

Dengan spidol merah dan hitam di tangan, ia gambarkan sebuah bagan di papan tulis putih itu. Sebuah bagan yang menurut saya, merupakan pengaturan terhadap sebuah problem.

Ia menjelaskan hubungan antara kenyataan (kelas percepatan/remidial -pen) dan harapan yang tidak sesuai. Untuk mengatasi itu diperlukan sebuah tindakan.

Harapan di sini mungkin bukan tuntutan, tapi lebih kepada keadaan untuk memperjelas sesuatu yang belum jelas. Dan inilah harapan itu;

-Ada kejelasan waktu (bagi mahasiswa peserta kuliah reguler/non-remidial)

-Setelah skripsi tiga tahun tiada hasil, jika ikut remidial maksimal nilai B

-Transparansi dan pemberitahuan kriteria penilaian

-Kejelasan hak dan kewajiban dosen dan mahasiswa berkait dengan kebijakan ini.

Setelah semua menyepakati, maka tindakan yang dilakukan selanjutnya adalah menyebarkan isu ini ke milis. Langkah dan pertemuan selanjutnya tergantung dari penyebaran isu dan tanggapan atas tulisan ini.

“Mereka yang dilumpuhkan” berusaha mencari kejelasan hak dan keadilan...


nb: -Dokumen empat lembar atau draft ini bisa teman-teman download di sini. Semoga dapat membantu. Selamat mengkritisi.

-Kami mengharapkan adanya respon terhadap tulisan ini, terutama dari teman-teman angkatan 1991-2002 yang mengikuti kelas percepatan/remidial atau kelas “pengusiran” ini.

Tidak ada komentar: