Jumat, 16 Mei 2008

Kecewa: Kebijakan Presensi 75%

Mungkin saya merasa paling benar dan sok tahu. Mungkin juga saya bodoh dan tolol. Kok mau-maunya saya ikut campur hal beginian.

Oleh Hendy Adhitya

Beberapa hari sebelum ujian akhir semester genap 2007/2008 dimulai, si Munawir melotot (dan sedikit kaget) karena FISIP hari itu tidak seperti biasanya -yang selalu monoton dan membosankan-. Karena selama ini kondisi "yang monoton" dan "membosankan" itu pada akhirnya menjadi suatu kondisi yang menyenangkan dirinya.

Ketika berjalan melangkah masuk, Munawir terusik. Anak juragan minyak ini melihat sebuah kain biru sepanjang empat meter dibentangkan di depan pagar lobi kampusnya. Baginya yang jadi masalah bukan jenis atau warna kainnya, melainkan huruf-huruf yang tersusun menempel di kainnya. "Tolak Presensi 75 % !" Begitu padanan katanya.

Si Munawir kemudian berpikir, si pembuat pesan pastilah seorang yang mbolosan dan tidak terima hak ujiannya dicabut oleh aturan kampus yang alhamdulillah sukses berjalan kuranglebih 24 bulan silam ini.

Tapi berhubung si Munawir ini adalah seorang anak yang rajin bin taat kuliah- termasuk rajin menjilat teman dan dosen- dan selama hak ujiannya tidak diusik oleh kebijakan ini, ia menanggapinya dingin. Sedingin es cendol.

Lain padang lain belalang, lain Munawir lain pula cerita si Munaroh.

Munaroh -yang kata teman-temannya- merupakan sosok mahasiswi yang disegani. Bukan berarti ia disegani karena doi berwajah gahar, melainkan lebih karena doi juara debat kusir. Beberapa teman mengaku kewalahan bersilat lidah dengannya.

Nah, si Munaroh ini -pada hari yang sama- langsung cuap-cuap kepada si orator. Katanya ia tidak setuju dengan tindakan orator beserta teman-temannya. Alasannya, tuntutan ini hanya merupakan tindakan pembenaran dan pembelaan bagi mahasiswa yang sering mbolosan.

Tanpa adanya kesempatan menjawab dari pihak orator, Munaroh langsung saja ngeloyor pergi. Ia juga mengabaikan ajakan orator untuk mendiskusikan dan mengkritisi bersama perihal kebijakan 75% ini di Ruang Kemahasiswaan tercinta jam 17.00 waktu Babarsari nanti.

Melihat perilaku Munaroh, Mutaqin yang melihat dari kejauhan tak sependapat. Ia mendukung apa yang disuarakan teman-teman "demonstran" ini. Sambil asyik dengan laptop dan terus ber-hotspot ria, ia menyerukan,"Setuju! Tolak kebijakan presensi 75%"

Seruannya ini membebek. Teman-teman mahasiswa yang tengah ber-hotspotan ikut berseru seperti Mutaqin. "Setuju juga! Pokoknya tolak kebijakan presensi 75%" sembari jari-jari mereka asyik menari menekan tuts-tuts keyboard laptop.

Sama seperti Munaroh, imbauan orator yang mengajak seluruh mahasiswa FISIP UAJY berdiskusi sore nanti diabaikan Mutaqin dan teman-teman generasi hotspot lainnya. Setelah berteriak sebentar, mereka kembali lagi asyik dengan layar 14 inci itu.

Mereka ini masuk ke dalam golongan yang mau enaknya saja, menolak kebijakan ini tapi tidak mau ikut berjuang.

Melihat keadaan ini, Maesaroh gerah. Sohib si orator ini mengeluh kalau gerakan hanya berlangsung seperti ini - tidak mendapat respon- sama halnya dengan menimba air dengan ember bolong. Ironisnya kasus ini merupakan salahsatu isu nasional gerakan mahasiswa.

Suara-suara pro, netral, dan kontra bermunculan. Suara mahasiswa terbagi tiga menanggapi hal ini. Ada yang cuek bebek seperti Munawir, ada yang terang-terangan mengatakan ketidaksukaannya kepada tindakan orator dan kawan-kawannya. Bahkan ada pula yang ikut mendukung dan berjuang. Pun, tidak sedikit yang mendukung tetapi tidak ikut berpartisipasi.

###################

Pukul enam. Lewat satu jam sudah dari rencana awal pertemuan. RK tampak sepi. Hanya satu-dua orang disana. Ke mana mereka? Katanya ada pertemuan?

Oh, mereka ada. Orator dan teman-temannya menunggu di luar RK. Mereka menunggu kedatangan teman-teman mahasiswa lain yang peduli dengan masalah ini. Sampai sinar mentari hilang dari ufuk barat, sampai suara panggilan sholat maghrib berkumandang, mereka sabar menunggu. Mereka tetap sabar menunggu meski waktu pertemuan seharusnya sudah dimulai 60 menit yang lalu.

"Pastilah mereka masih kuliah..." ujar salahsatu teman yang ikut menunggu.
"Dasar mahasiswa gak pernah peduli, selama mereka tidak terusik mereka tidak akan ikut hal-hal beginian!" kata temannya seorang teman yang ikut menunggu jua.

Akhirnya satu-dua teman datang. Tapi setelah itu, tak ada lagi. Pertemuan dengan tajuk "Mengkritisi Kebijakan Presensi 75%" digelar.

Diskusi. Antarpeserta saling melempar pendapat dan pandangannya. Apalagi munculnya pihak pro, kontra dan netral merupakan hal wajar. Inilah dialektika. Mereka yang berkumpul petang itu ingin menuju kesepahaman. Kesepahaman yang hanya bisa didapat dengan ikut berproses. Kesepahaman yang datang dari peserta diskusi-entah dia korban atau bukan- yang merasa bahwa mereka adalah bagian dari masalah dan solusi.

Tidak seperti Munawir, Munaroh atau Mutaqin. Mereka bertiga ini yang sebenarnya reaksioner. Mereka inilah yang tidak ikut berproses. Suatu "reaksi"atas sebab, tidak serta-merta bisa dilihat dari satu sudut pandang. Untuk mencapai kesepahaman yang memuaskan semua pihak diperlukan point of view dari segala sisi. Untuk bisa mengetahui point of view itu, mereka harus ikut berproses, dan berdiskusi. Pemikiran yang sempit bukan jalan keluar. (hen)


nb:
Akhirnya pertemuan itu mencapai nota kesepakatan sementara. Nota kesepakatan itu tertuang dalam tiga butir tuntutan;

1. Pemberian tugas pengganti sebagai konsekuensi ketidakhadiran 75 %, dengan ketetapan mahasiswa dapat mengikuti ujian akhir semester

2. Transparansi hasil evaluasi rapor Dosen ke mahasiswa.

3. Sosialisasikan perubahan kebijakan kampus yang berhubungan dengan kemahasiswaan dan akademis melalui public hearing.

Lebih lengkapnya klik www.teras-pers.co.nr

Tidak ada komentar: