Senin, 05 November 2007

Dua Lembar Tentang Saya

Bagiku untuk mendeskripsikan diri sendiri kedalam tulisan merupakan hal yang tak pernah aku lakukan sebelumnya. Karena objek atau subjek tulisanku selama ini ialah hasil pengamatan, penelitian dan analisa mengenai sesuatu yang ”ada” diluar diriku.

”Ada” bukan berarti si subjek atau objek harus empiris atau post-empiris (etimologi kata ini dari saya sendiri artinya sesuatu yang tadinya ada). Melainkan juga subjek atau objek non-empiris.

Kalau aku terangkan disini lebih jauh lagi bisa berlembar-lembar kertas. Baik, aku mulai dari asmaku sendiri. Hendy Adhitya.

Sebenarnya namaku memiliki tiga kata. Tapi satu kata ketiga di akhir namaku tidak ku pakai. Jujur saja aku tak begitu suka kata ketiga pemberian orangtuaku itu. Memang hanya persoalan sepele, tapi kata itu terlalu jawasentris. Entah mengapa bisa seperti itu, padahal aku sendiri lahir dari peleburan sel sperma dan sel telur orang Jawa.

Pun, aku belum bisa menjadi cahaya yang bercahaya. Yah, itulah aku. Kalian tak salah menilaiku sebagai orang yang idealis atau hiper-idealis.

(Sori kalau aku agak bertele-tele dengan kisahku sendiri. Kalau begitu aku meloncat saja langsung ke masa kini.)

Aku mulai menjadi seorang idealis saat pertama kali duduk di bangku kuliah. Pemikiran-pemikiranku merupakan hasil rangkuman membaca buku-buku Marx, Lenin, Tan Malaka, Soekarno, Gramsci, Che dan sederet nabi-nabi sekuler lainnya. Merekalah yang membentuk warna tulisanku. Maka, tak sedikit kawan-kawan mengatakan diriku sebagai ”orang kiri”. Alias orang-orang yang memiliki perspektif kritik dalam memandang dunia atau realitas.

Alasanku menyukai pemikiran mereka ialah keberpihakan mereka terhadap kaum tertindas. Buruh, petani, orang miskin dan kaum-kaum lain yang ditindas oleh sistem kapitalis. Alasan lainnya, karena aku juga termasuk orang-orang yang tertindas itu! Baik dari latar belakang ekonomi, sosial, pendidikan dan hak politik aku merasa ditindas.

Beralasan bukan?

Sama halnya apabila aku berada di urutan tinggi ”kue pengantin Tsar”. Menjadi orang kaya misalnya. Hidup dalam keadaan mapan dan tak kekurangan sesuatu apapun. Aku bakal memuaskan hasrat konsumtifku yang selama ini kupendam. Membeli Honda Jazz, berdansa-dansi di Hugo’s, membuang uang di Ambarukmo Plaza, bahkan menyewa pelacur untuk bisa bercinta barang semalam. Semua bisa aku lakukan hanya dengan menggesek credit card.

Well, ternyata Tuhan tidak menaruhku di relnya orang-orang mapan. Tapi justru sebaliknya memposisikanku di urutan terbawah kue pengantin Tsar yaitu dalam kubangan orang-orang tertindas. Kalau ini tanya saja alasannya kepada Tuhan mengapa Dia menaruhku disana.

Lama kelamaan tulisanku terkesan menggerutu ya? Kalau begitu aku langsung melompat ke bagian berikutnya.

Sebagai pelajar di sebuah perguruan tinggi, kehidupan perkuliahan tak akan lengkap bila kamu tak ikut mencicipi nikmatnya terlibat dalam organisasi. Banyak teman, kerja bareng, tukar pemikiran bahkan tak jarang kami terlibat adu pendapat. Ya, itu yang bisa kalian lihat dalam dinamika kehidupan berorganisasi. Itu...wajar.

Jujur saja, masa-masa semester lima ini aku bosan. Bosan duduk dan mendengarkan jutaan kata teoritis dosen masuk kedalam telinga. Dan payahnya, aku harus merelakan telingaku dihujani jutaan kata-kata teoritis dosen. Maka untuk membunuh rasa bosanku di perkuliahan, aku puaskan dengan berkegiatan di organisasi. Di sini aku bisa berpartisipasi aktif! Di sinilah otakku dan isinya yang hampir tumpah sekalian aku tumpahkan lewat mulutku. Beralasan bukan?

Tapi disini muncul dilema. Sampai-sampai aku membuat teori sendiri. ”Semakin banyak organisasi semakin banyak pula tugas kuliah tertunda pekerjaannya”. Itu yang oleh orang-orang teratur dan disiplin disebut ”konsekuensi”. Atau menurut hukum kaum Kausalitas setiap sebab akan melahirkan akibat.

Yah inilah konsekuensi. Tak bisa aku tinggalkan begitu saja keduanya seperti aku menodai anak perawan kemudian meninggalkannya sendirian di ranjang. Aku buktikan aku bertanggung jawab.

Tidak ada komentar: